Cerpenku I
Kekuatan Doa
Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintangan untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah... penuh nanah
Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas... Ibu... Ibu
Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri seluruh tubuhku
Dengan apa membalas... Ibu... Ibu
Lagu
berjudul “Ibu” karya sang legendaris musik Indonesia Iwan Fals memang sangat
menyentuh bagi siapa saja yang mendengarnya. Tak luput pula bagi Muhammad Gadi
Widjoyo seorang sarjana hukum yang sangat menyayangi seorang Ibunya. Yang ada
dalam pikirannya adalah sebuah pertanyaan, apakah kamu pernah dan merasakan
kasih sayang Ibumu?
“Ingin
kudekat dan menangis di pangkuanmu. Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu”
lirik ini
baginya sangat mengingatkan sebuah klise kehidupan sesosok Ibu dan menyiratkan
sebuah keinginan seorang anak kepada malaikat kecil itu. Tak terasa mendengar
dan merasakan lirik demi lirik lagu itu, berbutir-butir air mengalir dan
membasahi pipi Gadi. Lamunan demi lamunan ia lalui dengan tangisan, mengingatkan
kasih sayang seorang Ibu yang menuntunnya menjadi seorang sarjana seperti
sekarang, tetapi bukan tangisan yang dibutuhkan oleh seorang Ibunya melainkan
doa dari seorang anak saleh yang dapat menuntunnya untuk menempuh jalan
terindah yaitu di surga.
Hampir tidak
mungkin Gadi hanya seorang anak dari kalangan berekonomi rendah bisa menjadi
Sarjana Hukum apa lagi Ibunya hanya seorang buruh cuci yang gajinya hampir
tidak mencukupi kehidupannya. Itu semua berkat doa seorang Ibu untuk anaknya,
selain itu juga karena kegigihan dan usaha yang di lakukan oleh Gadi. Karena
rasa sayang begitu besar yang dimiliki oleh Gandi maka apa yang selama ini dia
lakukan hanya semata-mata untuk membahagiakan Ibunya.
Gadi sangat
bersyukur memiliki Ibu berhati baja, berjiwa mulia. Mengajarkannya banyak hal
untuk kekuatan hidupnya demi meraih masa depan. Suka duka itu semua bagian dari
hidup. Kekuatan Ibunya menghadapi hidup atas nama cinta untuk anaknya. Sang
anginpun hanya datang untuk menghembusnya, diapun pergi setelah sang daun harus
gugur ke bumi rapuh terinjak.
Dia tidak
lagi iri kepada teman-temannya yang memiliki keluarga sempurna, punya orang tua
kandung yang lengkap dan hidup serba kecukupan. Ternyata, memiliki keluarga
lengkap tidak menjamin mereka bisa berhasil hidupnya.
Banyak
contoh di sekelilingnya, teman-teman sekolahnya yang naik turun mobil pribadi
saat sekolah, ternyata tidak mendapat cukup kasih sayang orang tuanya yang
jelas-jelas lengkap dan senantiasa bisa bersama mereka setiap saat. Banyak
kebahagiaan semu teman-temannya yang tidak tau apa arti kasih Ibu.
Sejak duduk
di pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah, Gadi selalu menjadai
sisiwa terbaik di sekolahnya di bandingkan dengan temen-temannya. Berkali-kali
ia selalu mendapat sanjungan dari guru-guru di sekolah maupun dari
teman-temannya. Tidak sedikit pula beasiswa yang di dapatkannya, dengan adanya
beasiswa inilah ia dapat melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi
selain itu juga dapat mengurangi beban hidup Ibunya yang tidak lagi memikirkan
beban biaya.
Sejak duduk
di bangku kuliah, dia tidak lagi tinggal bersama Ibunya melainkan ia ikut
tinggal dengan temannya di kos dekat kampusnya. Mengingat jarak dari rumah
menuju kampus lumayan jauh. Semenjak ia menjadi mahasiswa di kampusnya ia
jarang lagi pulang karena banyak tugas yang harus cepat di selesaikan. Di
kampus Gadi selalu ikut menjadi aktifis muda di kampusnya.
Siang itu,
Ibu Gadi sangat merindukan anaknya yang telah menjadi seorang yang mendiri.
Pada sore harinya, sang Ibu mendatangi kos tanpa sepengetahuan Gadi. Tempat kos
yang cukup sederhana namun nyaman untuk di tinggali. Tak lupa ia menitipkan
beberapa bingkisan makanan kesukaan Gadi dan alat solat berupa sarung dan peci,
selain itu ia juga menyelipkan Al-Qur’an kecil agar mengingatkannya untuk tetap
ingat dan beribadah kepada Allah SWT. Saat teman kos Gadi keluar dari kamar,
sang Ibu menitipkan beberapa bingkisan itu melalui teman yang di lihat umurnya
tidak jauh dari Gadi.
“Assalamualaikum...”
“Waalaikumsalam...”
“Maaf nak, bisa tolong titipkan ini untuk Gadi?”
“Oh bisa bu, kalo boleh tau Ibu ini siapa yah?”
“Ibu hanya orang yang dititipkan ini untuk Gadi”
Ibunya
terpaksa berbohong, ia tidak ingin melihat orang lain melihatnya sebagai Ibu
Gadi. Gadi adalah aktifis muda yang berbakat memiliki segudang prestasi yang ia
pikir tidak pantas memiliki seorang Ibu yang hanya hidup sebagai seorang buruh
cuci yang berpenghasilan tidak menentu.
Tanpa
berpikir panjang dan tanpa melihat bagaimana perkembangan anaknya, sang Ibu
bergegas pergi meninggalkan kos itu, dan di dalam hatinya walaupun ia tidak
dapat bertemu dengan anaknya saat itu, sang Ibu selalu berdoa yang terbaik
untuk anaknya.
Sore itu
awan mulai gelap menyelimuti bumi, suara gemuruh petir mulai terdengar di sana
sini. Satu demi satu, dikit demi sedikit awan mulai mengeluarkan butiran air
hasil proses kondensasi di awan. Dengan terburu-buru sang Ibu memantapkan
langkahnya untuk bergegas pulang, dari belakang terdengar suara yang memanggil
dirinya tetapi dia tidak mempedulikannya.
“Buuuuu, Ibuuuuuu ..........”
Saat suara
itu semakin dekat, dan tiba-tiba memegang erat dan mencium tangan kanan sang
Ibu, ternyata itu adalah Gadi.
“Ibu kenapa gak ingin ketemu Gadi, tadi Gadi ada di dalam”
Dengan
menatap dengan senyuman sang ibu membelai anaknya yang terlihat semakin besar
dan dewasa.
“Ibu tidak ingin teman-temanmu melihat aku ini Ibumu nak”
“Kenapa Ibu berfikir seperti itu? Gadi tidak pernah malu memiliki Ibu seorang
buru cuci, bagi Gadi Ibu adalah orang yang paling Gadi hormati”
“Ibu berpesan kepada mu, jangan pernah tinggalkan ibadah kepada Gusti Allah,
sesuai dengan nama mu Gadi yang artinya Allah adalah penuntunku”
“Iya, Gadi janji Bu..”
Gadi tak
menyangka begitu besar cinta Ibunya kepada dirinya. Air mata pun mengalir
bersama dengan air-air hujan yang membasahi pipinya saat itu.
ððððð
Hari ini
hari yang paling membahagiakan bagi Gadi dan teman-temannya karena hari ini
adalah hari dimana ia akan diwisuda. Dengan Indeks Prestasi mencapai diatas 3,2
maka ia semakin yakin dengan ini Gadi akan membahagiakan Ibunya.
Awalnya ia
ingin menuju kampus bersama Ibunya, karena sang Ibu tidak datang juga maka Gadi
datang ke acara wisuda hanya dengan teman satu kosnya.
Setelah
acara wisuda selesai ia langsung bergegas menuju rumah yang sangat sederhana,
tempat dimana Gadi pelepas masa-masa kecilnya dan merasakan indahnya kasih
sayang sorang Ibu. Saat ia memasuki ruangan sempit, terdengar suara lirih, lalu
Gadi mendekat dan sang Ibu berbisik.
“Hari ini kamu wisuda, anakku telah jadi sarjana, doa ibumu terkabul nak maturnuwun
Gusti..., Allahu Akbar..., Lailahaillah Muhammadarasulullah...”
“Ibuuuuuuu, Innalillahi wainnalillahi roji’un”
Sakit yang
menahun tak pernah dirasakannya, dia terus berjuang demi masa depan anaknya.
Kini sakit itu telah hilang bersama raga, dan telah meninggalkan beberapa kisah
mengenai nilai hidup dan perjuangan kepada anaknya. Tanpa rasa mengeluh ia
lakukan hanyalah untuk anaknya dan juga dia tidak pernah meratapi kemiskinan
yang dialaminya. Kemiskinan bukan untuk diratapi tetapi untuk di hadapi.
Ibu tidak
pernah menangis di depan kita, kalau pun ingin menangis dia selalu menahan air
matanya di depan kita, dia selalu menguatkan kita dengan kata-kata indah, tidak
ada seorang Ibu yang tidak sayang kepada anaknya, baginya anak adalah buah
cintanya kepada Allah SWT yang harus ia jaga dan lindungi di mana pun dan kapan
pun. Dalam hidupnya semua yang ia lakukan hanyalah untuk membahagiakan anaknya.
Seorang Ibu
tidak mengharapkan imbalan apa pun dari apa yang di berikannya selama ini,
tugasnya di dunia ini hanyalah memberi memberi dan memberi. Dari rahimnya lah
ia melahirkan sosok-sosok manusia yang hebat. Baginya anak adalah segalanya,
anak adalah separuh hidupnya, di saat sosoknya telah tiada doanya yang selalu
terlantun untuk anak-anaknya.
Tiadanya
dirimu menjadi semangat untuk ku untuk menjadi lebih baik, cinta dan kasih
sayang mu akan selalu menuntun hidup ku, selamat jalan Ibu, Kaulah malaikat
kecil ku. Terima kasih ibu, doa ku kan menuntunmu di surga.
DIBALIK AWAN
Di balik awan
Ku menunggu itu datang.
Ku tatap langit berharap itu terjadi.
Berharap dan terus berharap
Mimpi kecil yang masih berada di balik
awan.
Agar awan itu pindah dan mimpiku bisa
jadi kenyataan
Terlalu konyol ku katakan tetapi itulah
kenyataanya. Ku bernama Nur Faida, bisa di panggil faida. Aku ingin sekali
mimpi kecilku itu terwujud sebari ku menunggu sejak kecil sampai kelas 3 SMP
sekarang. Entah kenapa, aku ingin sekali itu terwujud dan sekarang mimpi
kecilku itu menjadi kenyataan.
Hari jumat sepulang sekolah, ku pandang
langit yang bersahabat denganku. Ku berlari secepat mungkin karena ku tak mau
temanku ninda memelukku dan aku tak mau menjadi kue bercampur kopi. Begitulah
masa remaja menurutku, setiap ada teman kita yang ulang tahun pasti ujung –
ujungnya orang yang berulang tahun itu akan ditaburi maupun di lempari dengan
terigu , air dan telur maka menjadilah kue dan di berikan juga kopi.Ku
beruntung sekali, aku tidak terkena semua itu dan kami sekelas perempuan
semuanya pergi kerumah ninda.
Saat ku lihat Ninda , ada rasa iri
diriku. Sejak kecil ulang tahunku tidak pernah dirayakan oleh teman – temanku
semua, ku memang pernah dirayakan ulang tahunku tapi aku hanya 1 kali itupun ku
sama keluarga ajah. Ku ingin sekali ulang tahunku dirayakan oleh teman – teman
semua, aku selalu menunggu sampai sekarang ini. Ku fahami itu bahwa tanggal
lahirku 3 Agustus 1998 jadi ulang tahunku sulit untuk dirayakan karena pada
bulan kelahiranku itu adalah bulan ramadhan tetapi ku ingin sekali itu di
rayakan walau ditunda waktunya.
Dirumah Ninda, kami semua menunggu 2
teman kami yang akan membawa kue ulang tahun untuk Ninda. Banyak hal yang
temanku lakukan semuanya saat menunggu 2 teman kami dan juga ninda yang sedang
mandi ini. Ada yang saling berbincang - bincang , main – main bersama dan
perbaiki kudung.
Tak lama kemudian, Atul dan Dilah datang
membawakan kue ulang tahun berbentuk segi empat untuk Ninda . Teman – temanku
pun menancapkan lilin. Betapa senangnya Ninda pastinya akan hal ini.
“Happy birthday Ninda!”sorak semua
temanku saat Ninda turun dari tangganya.
Nindapun gabung pada kita semua dan kami
semua menyanyikan lagu selamat ulang tahun dan Nindapun meniup lilinnya lalu
memotong kue ulang tahun yang di beli dari kumpulan uang semua teman di kelas
kemudian kamipun semunya memakan kue ulang tahun itu yang ternyata masih ada
sisa sepotong kue Ulang tahun Ninda yang kira – kira besarnya 40 derajat.
Tak ku sangka Wawa,Inna dan Icha
seseorang yang sudah ku anggap sahabat itu menancapkan lilin lebih dari 8 dengan
api yang sudah berada di pucuknya dan menghampiriku.
“faida! Selamat ulang tahun yah. Kan
Ulang Tahunmu belum dirayakan waktu itu”kata Wawa yang berada di depanku dengan
membawa kue Ulang tahun.
Mereka menyanyikan Lagu Selamat Ulang
tahun dan akupun meniupnya. Ya Allah, aku sangat gembira sekali sekaligus
terharu. Aku ingin sekali menangis karena saking senangnya tapi ku tahan mataku
agar tidak menangis. setelah itu iseng – isengnya wawa mencolek kue itu dan
memberikan mukaku bedak kue.Astaga, reflex saja aku membalasnya dan juga Inna
melakukan hal seperti itu. Akan hal itu, kudungku jadi kotor dan mereka berdua
juga
Alhamdulillah, akhirnya mimpi kecilku
sudah terwujud dan selang beberapa hari setelah itu mereka berdua memberikanku
kado ulang tahun untukku sebuah pulpen berwarna hijau. Aku sangat senang karena
sekiang lama ku menunggu akhirnya terwujud juga. Terimah kasih ya Allah engkau
sudah mewujudkan mimpi kecilku itu. Mimpi yang dulunya berada di balik awan
sekarang sudah menjadi kenyataan. Itulah mimpi kecilku, ingin dirayakan ulang
tahunku dan di beri kado
Sebuah Harapan
Barangkali pagi adalah waktu yang akan
selalu disesali oleh pak Dirman. Betapa tidak, kehadiran matahari yang
menyilaukan mata lewat jendela sempit di kamarnya itu kemudian memaksanya
terbangun dari mimpi-mimpi malam untuk menyaksikan kenyataan yang tak pernah
dia harapkan sebelumnya. Lagi-lagi tubuh ringkih yang hampir separuh abad
tuanya itu harus mempersiapkan segalanya dengan segera. Disulutnya kompor
minyak yang sudah penuh karat untuk menanak nasi. Lalu Pak Dirman bergegas
menimba air untuk mandi. Begitulah, kemudian anak semata wayangnya yang baru
duduk di bangku SD kelas tiga itu dimandikan, meski sudah besar. Setelah beres,
baru Pak Dirman sarapan pagi bersama istrinya sekaligus mendulang Dodi anak
semata wayangnya.
Pak Dirman yang sudah sedemikian tua
mengayuh becak yang mungkin sama-sama tuanya menuju pasar, tempat yang katanya
penuh rejeki itu. Tak jarang Pak Dirman lupa mandi pagi dengan alasan tak ingin
kehabisan rejeki, maklum harus berebut dengan belasan tukang becak yang
memiliki tujuan sama mengais rejeki. Itu pun masih harus bersaing dengan
angkot-angkot berbau amis di sekitar pasar.
“Pak Dirman…” sapa seorang wanita paruh
baya dengan sedikit berteriak. Pak Dirman mencoba mencari sumber suara yang
cukup membuatnya terkaget saat matahari semakin menampakkan warna silaunya.
“Eh, Mak Ijum” Pak Dirman tersenyum
senang. Hatinya teramat bersyukur karena wanita yang biasa menaiki becaknya itu
belum pulang dari pasar. Seperti biasa, dua buah keranjang yang dibawanya
selalu penuh dengan sayur mayur dan lauk pauk. Maklum punya warteg.
“Berarti aku tepat waktu” pikirnya.
Segera becak tua itu diturunkan supaya memudahkan penumpang saat menaikinya.
Buru-buru Mak Ijum mengulurkan tangannya tanda menolak tawaran Pak Dirman.
Sontak Pak Dirman terkejut, dahinya yang keriput mengernyit hingga semakin
menampakkan lipatan-lipatannya.
“Kenapa, Mak?” suara Pak Dirman hampir
tidak kedengaran, saking lirihnya.
“Saya mau naik angkot sajalah, Pak” Mak
Ijum nyengir. Tangannya melambai ke arah angkot bobrok yang tak jauh di
hadapannya. Segera Mak Ijum menaiki angkot dengan tergesa. Dunia terasa gelap
dalam pandangan Pak Dirman. Harapannya musnah. Mak Ijum sudah tidak
membutuhkannya lagi, padahal selama ini dialah satu-satunya penumpang setia
yang mampu memberikannya sesuap nasi sekadar untuk sarapan sekeluarga, meski
hanya berlauk garam. Sial, angkot itu merebut kehidupannya.
Pak Dirman menelan air liurnya yang
kering. Disekanya butir-butir keringat yang mengalir deras di lehernya. Kecewa
berat, namun tak bisa apa-apa. Pikirannya pun melayang kemana-mana. Pertama,
keluarga. Istri yang telah dinikahinya lima belas tahun lalu itu kini tak bisa
melayaninya lagi. Ia lumpuh karena stroke. Dulu Minah, istrinya itu bisa
membantu penghasilan suaminya dengan berjualan sayur segar mengelilingi komplek
perumahan. Lumayan, setidaknya bisa untuk makan dengan tempe goreng atau ikan
asin kadang-kadang. Tapi sekarang, bisa makan dengan garam pun Pak Dirman
merasa sangat bersyukur. Lebih bersyukur lagi karena Dodi masih bisa sekolah,
ada bantuan dari pihak sekolah katanya. Dengan demikian, urusan sekolah tidak
jadi masalah lagi baginya. Pak Dirman hanya berharap keluarga yang dicintainya
baik-baik saja.
“Jangan Kau coba kami dengan cobaan yang
lebih berat, Tuhan” gumam Pak Dirman dalam doa-doanya yang panjang, penuh
uaraian air mata, luka dan lara.
“Orang miskin sudah tidak berhak sakit,
Tuhan. Negara ini kejam” adunya lagi.
Pak Dirman terus memikirkan keadaan
keluarganya. Kini bayangan rumah kecil sederhana yang dibeli dengan uang hasil
menjual tanah di desa nampak jelas dalam benaknya. Rumah itu sudah reot, perlu
sekali dibenahi. Tapi, bagaimana mungkin memikirkan rumah ya kalau mau makan
saja masih sebegitu susah? Pak Dirman menyeka keringatnya sekali lagi. Muka
tuanya kelihatan lebih tua dari usia sebenarnya.
Dipandanginya pasar yang mulai sepi.
Hari semakin siang, terik terasa membakar kulit hitam Pak Dirman. Ternyata
memang tak ada penumpang, kecuali satu. Seorang nenek tua yang nampak kesusahan
membawa barang dagangannya. Nenek tua itu seperti kebingungan, sementara tak
ada orang membantunya pulang. Hati kecil Pak Dirman tergugah untuk membantunya.
“Tak apalah jika belum dapat rejeki”
bisik hati kecil Pak Dirman, bijak. Becak tuanya ia dorong perlahan mendekati
nenek tua yang tengah duduk sambil memandangi jalan.
“Becak Uwa” tawar Pak Dirman tersenyum.
Senyum yang ia paksa meski dalam hatinya menangis menjeritkan luka-luka yang
menganga. Nenek itu hanya memandanginya lekat-lekat.
“Sampean mau nyulik saya yang sudah tua?
Beraninya ya. Belum tau kalau suami saya mantan preman pasar!” nenek tua itu
membentak. Suaranya terdengar parau. Gigi-giginya sudah banyak yang tanggal.
Segera Pak Dirman beristighfar. Tak disangkanya niat tulus dari lubuk hatinya
yang terdalam kemudian tak dimengerti oleh orang lain, malah disangkanya ia
akan berbuat aniaya terhadap nenek tua itu.
“Saya ingin bantu nenek” Pak Dirman
berusaha sabar, meski setengah terkejut.
“Alah, saya sudah nggak percaya lagi
sama orang lain. Semuanya Munafik! Kau tahu, kota ini penuh kemunafikan.”
tandas sang nenek berapi-api. Raut wajahnya menampakkan kemarahan yang sangat.
“Sudah berkali-kali aku ditipu. Biar
tua-tua begini aku punya harga diri.” tambah nenek tua yang seolah kesetanan
itu.
“Eh Pak, pergi saja kau cari mangsa yang
lain”
Pak Dirman hanya termangu. Kata-kata
yang terlontar dari mulut nenek tua itu serasa masuk menghujam jantungnya. Terbayang,
istrinya terbaring lemah di rumah. Di sebuah dipan reot dekat jendela sempit
yang ada di bagian samping rumah. Hidup sudah tak ada artinya lagi mungkin.
Setiap hari hanya memandang keluar, mengamati hiruk pikuk kota. Melihat
wanita-wanita seusianya asik bercengkerama di teras-teras rumah sambil sesekali
tertawa. Melihat matahri menyapa seolah memberi semangat untuk bangkit,
daripada terus-terusan tidur semakin menambah penyakit. Tapi mau bagaimana jika
semua seolah mustahil untuk dilakukan? Minah hanya menangis bahkan nyaris tak
bisa tersenyum ketika suaminya, Pak Dirman yang begitu sabarnya mencoba
menghibur ia dengan sisa-sisa kantuk dan lelah sehabis pulang bekerja. Ia tak
mampu lagi mengucapkan sepatah kata pun. Stroke, stroke. Andai saja ia dapat
berunjuk rasa kepada tuhan. Sayang, tak semua orang akan setuju dengan idenya.
Di mana sih tuhan yang katanya bijak itu? Mana tuhan yang kata para pembesar
agama itu Maha Pengasih, Maha Pemberi, Maha Pengabul atas doa hambaNya yang
meminta? Pertanyaan-pertanyaan itu semakin menyesakkan rongga dadanya. Doa-doa
yang teruntai panjang dari hati kecil Minah dan mungkin tak cukup jika dicatat
dalam beribu-ribu lembar kertas dan buku seolah kabur tersapu angin sepi. Not
responding. Once again, where’s the God? (sekalian wae dicampur bhs arabe mb)
he
Pak Dirman baru ingat, istrinya pandai
merajut. Mengapa tak ia belikan saja jarum dan benang. Dulu waktu masih di
desa, Minah pernah belajar pada emaknya. Pak dirman merogoh saku celana
kolornya, namun kosong. Lehernya serasa tercekik oleh tangan-tangan berkuku
panjang.
“Eh, kenapa Kowe masih di sini?”
tiba-tiba suara parau itu kembali mengejutkan Pak Dirman. Rupanya ia telah
terdiam begitu lama di hadapan nenek tua yang tadinya ingin ia bantu itu.
‘Iii…ia Uwa” Pak Dirman akhirnya pergi
sambil menggenjot pedal becaknya. Batinnya bergejolak. “Negeri macam apa ini?”
Pertanyaan-pertanyaan yang hampir sama
dengan pertanyaan istrinya tiba-tiba muncul memenuhi ruang kepala. Di manakah
Tuhan ketika hambaNya kesusahan? Makan susah, Minum susah, tersenyum dan
tertawa pun lebih susah. Yaa, sedikit membenarkan lagu yang pernah didendangkan
Sherina, beberapa tahun yang lalu saat ia masih menikmati pekerjaannya sebagai
tukang becak, namun sedikit berpenghasilan. Barangkali bisa untuk membeli tempe
goreng di warung Mak Ijum, sambil menonton tivi 14 inchi.
Pak Dirman mengontel pedalnya dengan
lebih cepat, berharap ada peluang mendapatkan rejeki hari ini. Anak istri di
rumah tentu belum makan siang. Seperti dirinya yang tengah mendengarkan
cacing-cacing di perutnya berteriak minta makan. Perih memang.
Otak di kepalanya ia paksa berpikir dan
terus berpikir. Kini pikirannya tiba pada masalah janji. Oh, janji mana memang?
Pak Dirman ingat betul, beberapa tahun lalu ketika istrinya masih sehat, ada
calon bupati yang mampir ke tempatnya. Katanya mau melihat-lihat rumah di
komplek tempat tinggalnya itu, lalu menyeleksi rumah-rumah terpilih untuk
diberi bantuan material. Tentu jika calon bupati itu nantinya menang dalam
pemilihan. Rupanya Pak Dirman termasuk satu dari sekian warga yang terpilih. Ia
akan diberi bantuan, dengan cara memilih calon bupati tersebut. Ya begitulah
kiranya akal-akalan dari orang yang gila akan jabatan. Gila memang, karena
segala cara akan dilakukan. Tapi untuk orang-orang seperti Pak Dirman tentu
saja hal yang seperti itu tak perlu dipermasalahkan. Ia bahkan manut saja, yang
penting nyoblos nomor yang dimaksud saat pemilihan.
Kini Pak Dirman baru sadar, bahkan di
akhir masa jabatan calon bupati yang ternyata licik itu, rumah reotnya belum
sekalipun tersentuh oleh bantuan material seperti yang dijanjikan. Mendatangi
kompleknya saja tidak pernah. Ah, busuk memang. Mau protes? Ah, ribet. Harus
menghadapi orang-orang berbaju rapih di kabupaten. Sementara, orang yang datang
sama sekali tidak wangi. Bagaimana jika nanti mereka menutup mata? Kalau
menutup hidung, ia kira wajar-wajar saja.
Keringat di leher Pak Dirman mengalir
semakin deras. Namun Pak Dirman tak mau mempedulikannya lagi. Biarlah keringat
itu menjadi saksi akan perjuangannya.
Pak Dirman mengayuh kembali becaknya
menuju pasar. Hidup baginya tak boleh putus asa. Ia tak boleh mempertanyakan
keberadaan Tuhan. Yang jelas, Tuhan akan selalu ada dalam hatinya. Jika saja ia
mendekati Tuhan sejengkal, Tuhan akan mendekatinya sehasta. Jika ia mendekati
Tuhan sehasta, Tuhan akan mendekatinya sedepa. Jika ia mendekati Tuhan dengan
berjalan, Tuhan akan mendekatinya dengan berlari. Ia ingat betul petuah Haji
Somad yang kemarin menaiki becaknya saat ia hampir putus asa. Saat ia ingin
menceburkan dirinya dalam sungai di tengah kota. Karena tiba-tiba saja sosok
Haji Somad muncul secara tiba-tiba dan menggenggam tangannya. Lalu Haji Somad
menaiki becak dan memberikan sejumlah uang yang membuatnya kaget. Barangkali
Uang Kaget memang, seperti program televisi yang pernah ia lihat di tivi 14
inchi milik Mak Ijum dulu, sambil menikmati tempe goreng dan teh tubruk yang
hangat.
Uang kaget itu membuat istrinya kaget,
hingga saat ini Minah mulai menikmati hidupnya dengan penuh senyuman. Mungkin
kedua kakinya tak dapat digerakkan, tapi mulutnya kini dapat melafalkan
huruf-huruf dalam deretan abjad dengan lancar dan mampu membentuk kata kemudian
menjadi kalimat. Ia menjadi Minah yang bisa mendendangkan shalawat ketika Dodi
tertidur dalam pangkuannya. Ia dapat merajut pernak-pernik yang hasilnya cukup
untuk memoles wajahnya dengan bedak, supaya terlihat agak cantik. Stroke yang
semakin mengurangi usianya itu ternyata sedikit memudarkan kecantikam Minah.
Kalau dibilang mukjizat mungkin terlalu berlebihan karena Pak Dirman sekeluarga
bukanlah nabi atau calon nabi. Ulama pun bukan, tapi mereka yakin akan kasih
sayang Tuhan. Alloh telah memberikannya kemudahan. Pak Dirman sekeluarga sadar,
telah lama mereka meninggalkan shalat. Mereka hanya berdoa dan terus berdoa
menanti keajaiban tiba. Namun ternyata semua itu salah.
“Maafkan Kami, Tuhan” Pak Dirman
meneteskan air mata.
Kini Pak dirman telah kembali siap untuk
bersaing dengan angkot-angkot bobrok yang berbau amis di sekitar pasar. Tak
apalah ia kehilangan mak Ijum dari daftar penumpangnya. Bukan berarti itu
kiamat kan?
Tukang becak nampak semakin sepi dari
pasaran. Banyak yang tidak betah karena sepi akan penumpang. Tapi justru itu
kesempatan bagi Pak Dirman, karena kini nenek-nenek tua pun lebih suka memilih
becak Pak Dirman. Kok bisa? Ya bisa.
Oh iya,
Kalau saja, beberapa waktu lalu ia tak
membawa wanita malang yang ternyata istri Haji Somad itu ke rumah sakit saat
kecelakaan. Mungkin bukan uang kaget yang ia dapatkan. Untung saja Haji Somad
segera datang saat ia berniat mengakhiri hidupnya. “Alhamdulillah”
—
Ratusan orang nampak berunjuk rasa di
depan kantor kabupaten. Ramai.
“Turunkan Joko! Turunkan Joko!”
“Pelaku Korupsi harus mati!”
“Turun! Turun! Turun!”
Jalur utama jalan diblockade oleh massa
yang mengamuk karena marah.
Pak Dirman mengelus dada.
“Astaghfirullah” bisiknya dalam hati.
Bupati yang dulu dipilihnya itu ternyata
korupsi
Comments
Post a Comment